HADITS
TENTANG
KEWAJIBAN
BELAJAR MENGAJAR
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah Hadits II (Tarbawi)
Dosen
Pengampu : Teguh Mukidin, S.Ud., M.Hum
Disusun
oleh Kelompok 1
Kelas
B1 PAI
1.
Rois
Mansur (1410110042)
2.
M.
Miftahurrahman (1410110056)
3.
Sya’idatur
Rohmah (1410110076)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aktivitas belajar sangat terkait
dengan proses pencarian ilmu. Islam sangat menekankan terhadap pentingnya ilmu.
Al-qur’an dan As-sunnah mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mendapatkan
ilmu, serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat yang
tinggi.
Kemampuan untuk belajar merupakan sebuah karunia Allah yang mampu
membedakan manusia dangan makhluk yang lain. Allah menghadiahkan akal kepada
manusia untuk mampu belajar dan menjadi pemimpin di dunia ini. Maka dari
itu manusia diwajibkan untuk belajar dan mengajar.
Akan tetapi, terkadang seseorang membutuhkan dalil sebelum percaya dengan
perintah kewajiban belajar mengajar. Karena itulah, penulis ingin membahas
hadits tentang kewajiban belajar mengajar.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian belajar mengajar?
2.
Bagaimana teks hadits tentang kewajiban belajar mengajar?
3.
Bagaimana penjelasan tentang hadits kewajiban belajar mengajar?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Arti kata belajar dalam
buku Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah berusaha memperoleh
kepandaian atau ilmu. Perwujudan dari berusaha adalah berupa kegiatan
belajar.
Menurut Hintzman,
belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri manusia disebabkan oleh
pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku manusia tersebut.[1]
Menurut Wittig, belajar
ialah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala
macam/keseluruhan tingkah laku manusia sebagai hasil pengalaman.[2]
Belajar adalah suatu usaha sadar
yang dilakukan oleh individu dalam perubahan tingkah lakunya baik melalui
latihan dan pengalaman yang menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotor
untuk memperoleh tujuan tertentu. Dikatakan belajar apabila membawa suatu
perubahan pada individu yang belajar. Perubahan itu tidak hanya mengenai jumlah
pengetahuan, melainkan juga dalam bentuk kecakapan, kebiasaan, sikap,
pengertian, penghargaan, minat, penyesuaian diri.[3]
Hampir semua ahli telah mencoba merumuskan
dan membuat tafsiran tentang “Belajar”. Seringkali pula perumusan dan tafsiran itu
berbeda satu sama lain. Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan
melalui pengalaman.
Menurut pengertian diatas, belajar
adalah merupakan proses suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan.
Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas daripada itu, yakni
mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan, melainkan
perubahan kelakuan. Ada juga yang mengatakan bahwa belajar adalah memperoleh
pengetahuan, belajar adalah latihan-latihan pembentukan kebiasaan secara
otomatis, dan seterusnya.
Secara rasional semua ilmu
pengetahuan dapat diperoleh melalui belajar.
Maka, belajar adalah ”key term”
(istilah kunci) yang paling vital dalam usaha pendidikan. Sehingga, tanpa belajar
sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan. Belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai hasil
pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya. [4]
Sedangkan pengertian mengajar lebih
identik kepada proses mengarahkan seseorang agar lebih baik. Al-Mawardi melarang seseorang mengajar dan mendidik atas dasar motif
ekonomi. Akan tetapi menurutnya, seorang guru seharusnya selalu memiliki
keikhlasan dan kesadaran akan pentingnya tugas, sehingga dengan kesadaran
tersebut, ia akan terdorong untuk mencapai hasil yang maksimal.[5]
Titik tekan pendidikan menurut al-Ghazali terletak pada pendidikan agama
dan moral. Untuk itu, syarat menjadi guru menurut al-Ghazali, selain cerdas dan
sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan
kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam,
dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para
muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar,
mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.[6]
Dalam QS At-Taubah Ayat 122, dijelaskan betapa pentingnya menuntut ilmu dan
mengamalkannya.
وَمَا
كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا
رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Yang artinya
: Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi
semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di
antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama
dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Status kewajiban juga dapat dirujuk melalui argument QS. Ali Imron Ayat
104, adapun dari hadis khotbah nabi pada haji wada’ juga dapat dijadikan
argumen yang menunjukkan status fardlu ‘ain. Kata nabi “...hendaklah yang hadir
menyampaikan kepada yang tidak hadir”. Juga dalam hadis lain, Rasulullah
menyuruh kaum beriman agar menyampaikan ajaran beliau (islam) kepada orang
walaupun hanya satu ayat saja yang ia bisa. Sabda nabi : “.... sampaikan dariku
walau satu ayat... bhalighu ‘anni walau ayatan”. Dalam hadits lain lagi, tugas dakwah itu
bahkan dikaitkan dengan keimanan seseorang. Setiap mukmin dituntut untuk
berdakwah sebisanya, dengan kekuatan, ucapan, atau dengan hati saja.”[7]
2.
Teks
Hadits
a.
Hadits Pertama
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
Artinya
: ”Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim
perempuan”. (HR. Ibnu Abdil Barr)
Hadits tersebut menjelaskan bahwa semua orang diwajibkan menuntut
ilmu, entah itu bagi laki-laki maupun perempuan.
b.
Hadits Kedua
أُطْلُبِ الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ إِلَى الَّلحْدِ
Artinya : ”Carilah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat”. (Al Hadits)
Dalam Islam pendidikan tidak
hanya dilaksanakan dalam batasan waktu tertentu saja, melainkan dilakukan
sepanjang usia. Belajar dalam arti sebenarnya adalah sesuatu yang berlangsung sepanjang
kehidupan seseorang. Dengan terus menerus belajar, seseorang tidak akan
ketinggalan zaman dan dapat memperbaharui pengetahuannya, terutama bagi mereka
yang sudah berusia lanjut. Dengan pengetahuan yang selalu diperbaharui ini,
mereka tidak akan terasing dari generasi muda, mereka tidak akan menjadi pikun
secara dini, dan tetap dapat memberikan sumbangannya bagi kehidupan di
lingkungannya.
c.
Hadits Ketiga
مَنْ أَرَا دَالدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِا لْعِلْمِ، وَمَنْ
أَرَادَالْاآخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ
بِالْعِلْمِ
Artinya : ”Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa yang menghendaki kehidupan Akherat, maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa menghendaki keduanya maka wajib baginya memiliki ilmu”. (HR. Turmudzi).
Hadits
tersebut memberikan pembelajaran kepada kita umat Islam agar memiliki ilmu
pengetahuan baik ilmu pengatahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum. Ilmu
pengetahuan merupakan bekal kita untuk hidup di dunia dan akhirat.
d.
Hadits Ke
empat
مُعَلِّمُ النَّاسِ
الْخَيْرَيَسْتَغْفِرُلَهُ كُلُّ شَىْءٍحَتَّى الْحُوْتِ (ابن عباس)
Orang yang mengajar kebaikan kepada manusia, segala
sesuatu(ikan di laut) memohonkan ampunan untuknya. (H.R. Ibnu Abbas)
3.
Analisis
Islam memotivasi pemeluknya untuk selalu meningkatkan kualitas keilmuan dan
pengetahuan. Tua atau muda, pria atau wanita, miskin atau kaya mendapatkan
porsi sama dalam pandangan Islam dalam kewajiban untuk menuntut ilmu
(pendidikan). Bukan hanya pengetahuan yang terkait urusan akhirat saja yang
ditekankan oleh Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan urusan dunia
juga. Karena tidak mungkin manusia mencapai kebahagiaan hari kelak tanpa
melalui jalan kehidupan dunia ini.
Dari pemaparan hadits pertama, yang berisikan maksud dimana
kewajiban menuntut ilmu itu ditujukan atas setiap mukmin, baik mukmin laki-laki
maupun perempuan. Hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sangat pentingnya
kehidupan di bumi harus disertai ilmu, baik ilmu politik, sosial, budaya dan
yang paling penting ilmu keagamaan dimana ilmu agama kelak akan menghantarkan
umat muslim ke surga dan ilmu agamalah yang menjadi simbolis pembeda antara
manusia dan makhluk yang lainnya.
Jika kita melihat keluar, kehidupan di negara kita yang saat ini
sangat memprihatinkan, hal tersebut dikarnakan generasi-generasi penerus bangsa
yang kurang mampu mengelola negara
dengan baik dikarenakan kurangnya ilmu pendidikan dan sempitnya cakrawala
pengetahuan, oleh sebab itu kita harus
membuka mata agar mau mencari ilmu sebanyak-banyaknya baik bagi muslim
laki-laki maupun muslim perempuan.
Kewajiban belajar mengajar merupakan suatu tuntutan bagi manusia yang
menginginkan suatu kehidupan yang layak sebagai implementasinya dalam
memakmurkan dunia. Manusia yang sudah dibaiat oleh Tuhan sebagai khalifah agar
senantiasa menjadi pemimpin dan bisa menjadi kemaslahatan bagi dirinya, orang
lain dan alam sekitar. Dalam realitasnya, konsep belajar mengajar memang banyak
mengambil dari konsep Barat. Dan tidak ada salahnya selama konsep tersebut baik
dan bisa mengangkat harkat dan martabat manusia. Namun, alangkah lebih bijak
ketika kita juga tahu bagaimana pandangan hadits tentang hal tersebut. Dan
banyak teks-teks dalam hadits yang bisa kita jadikan landasan dalam praktek
mengajar.
Untuk lebih tegas dalam hadis
riwayat Husain ibn Ali di atas, Rasulullah saw. menggunakan kata-kata wajib,
harus (farîdhah). Hal itu menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan itu memang
benar-benar suatu hal penting dalam kehidupan
manusia terutama orang yang beriman. Tanpa ilmu pengetahuan, seorang mukmin
tidak dapat melaksanakan aktivitasnya dengan baik menurut ukuran ajaran Islam.
Bila ada orang yang mengaku beriman tetapi tidak mau mencari ilmu, maka ia
dipandang telah melakukan suatu pelanggaran, yaitu tidak mengindahkan perintah
Allah dan Rasul-Nya. Akibatnya, tentu, mendapatkan kemurkaan Allah dan akhirnya
akan masuk ke dalam neraka Allah. Karena begitu pentingnya ilmu pengetahuan
itu, Rasulullah SAW. mewajibkan umatnya belajar.
Hal
tersebut ditegaskan lagi dalam hadis kedua : ”Carilah ilmu sejak dari buaian
hingga ke liang lahat”. Hadis tersebut memberikan pemahaman bahwa proses
beklajar mengajar tidak ada batasan usia, mulai dari lahir manusia sudah mendapatkan transefaran ilmu dari lingkungan
sekitar hingga di akhir hayatnya.
Ilmu pengetahuan itu memudahkan orang menuju surga.
Hal itu mudah dipahami karena dengan ilmu, seseorang mengetahui akidah yang
benar, cara-cara beribadah dengan benar, dan bentuk-bentuk akhlak yang mulia.
Selain itu, orang berilmu mengetahui pula hal-hal yang dapat merusak akidah
tauhid, perkara-perkara yang merusak pahala ibadah, dan memahami pula sifat dan
akhlak-akhlak jelek yang perlu dihindarinya. Semuanya itu akan membawanya ke surga di
akhirat, bahkan kesejahteraan di dunia ini.
Dalam sebuah hadis disebutkan terdapat lima keutamaan orang menuntut
ilmu, yaitu: (1) mendapat kemudahan untuk menuju surga, (2) disenangi oleh para malaikat, (3) dimohonkan ampun oleh makhluk
Allah yang lain, (4) lebih utama daripada ahli ibadah, dan (5) menjadi pewaris
Nabi.
Yang dimaksud dengan
dimudahkan Allah baginya jalan menuju surga adalah ilmunya itu akan memberikan kemudahan kepadanya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang dapat menyebabkannya masuk surga. Karena ilmunya, seseorang itu mengetahui kewajiban yang harus
dikerjakannya dan larangan-larangan yang harus dijauhinya. Ia memahami hal-hal
yang dapat merusak akidah dan ibadahnya. Ilmu yang dimilikinya membuat ia dapat
membedakan yang halal dari yang haram. Dengan demikian, orang yang
memiliki ilmu pengetahuan itu tidak merasa kesulitan untuk mengerjakan hal-hal
yang dapat membawanya ke dalam surga.
Malaikat menghamparkan sayapnya
karena senang kepada orang yang mencari ilmu. Malaikat telah mengetahui bahwa
Allah sangat mengutamakan ilmu. Hal itu terbukti ketika mereka disuruh hormat
kepada Adam setelah Adam menunjukkan kelebihan ilmunya kepada malaikat. Oleh
sebab itu, para malaikat merasa senang kepada orang-orang yang berilmu
karena mereka dimuliakan oleh Allah.
Orang yang menuntut ilmu
dimintakan ampun oleh makhluk-makhluk Allah yang lain. Ini merupakan ungkapan
yang menunjukkan kesenangan Rasulullah SAW kepada para pencari ilmu. Ilmu itu
sangat bermanfaat bagi alam semesta, baik manusia maupun bukan manusia. Dengan
ilmu pengetahuan yang disertai iman, alam ini akan selalu terjaga dengan indah.
Penjagaan dan pengelolaan alam ini dapat dilakukan dengan ilmu pengetahuan.
Jadi, orang yang memiliki ilmu dan menggunakannya untuk kebaikan alam semesta
merupakan orang mulia yang pantas didoakan oleh penghuni alam ini.
Orang berilmu pengetahuan lebih
utama daripada ahli ibadah. Keutamaannya diumpamakan oleh Rasulullah SAW bagaikan kelebihan bulan pada malam purnama dari bintang. Keutamaan bulan
malam purnama yaitu bercahaya yang membuat dirinya
terang dan dapat pula menerangi yang lain. Sedangkan bintang kurang cahayanya
dan itu hanya untuk dirinya sendiri. Sifat seperti itu terdapat pula pada orang
yang berilmu pengetahuan dan ahli ibadah. Orang yang berilmu pengetahuan dapat
menerangi dirinya sendiri dengan petunjuk dan dapat pula menerangi orang lain
dengan pengajarannya. Dengan kata lain, orang 'alim itu memberikan
manfaat untuk dirinya dan dapat pula bermanfaat bagi orang lain.
Orang yang berilmu dikatakan sebagai pewaris Nabi. Ini merupakan
penghormatan yang sangat tinggi. Warisan Nabi itu bukan harta dan fasilitas
duniawi, melainkan ilmu. Mencari ilmu berarti berusaha untuk mendapatkan
warisan beliau. Berbeda dari warisan harta, untuk mendapatkan warisan Nabi
tidak dibatasi pada orang-orang tertentu. Siapa saja yang berminat dapat
mewarisinya. Bahkan, Rasulullah SAW. menganjurkan agar umatnya mewarisi ilmu
itu sebanyak-banyaknya.
Mengajar adalah proses memberikan ilmu pengetahuan kepada orang yang belum
tahu. Hasilnya, orang yang belajar itu memiliki ilmu pengetahuan dan dapat
dimanfaatkannya dalam menjalani kehidupannya, baik untuk urusan hidup duniawi
maupun untuk urusan ukhrawi.
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
“Belajar
mengajar wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan tanpa adanya batasan waktu”.
Orang yang belajar akan mendapatkan
ilmu yang dapat digunakan untuk memecahkan segala masalah yang dihadapinya di
kehidupan dunia. Dengan ilmu yang dimilikinya, mampu
mengangkat derajatnya di mata Allah.
Belajar adalah suatu
perubahan yang terjadi dalam diri manusia disebabkan oleh pengalaman yang dapat
mempengaruhi tingkah laku manusia tersebut. Sedangkan pengertian mengajar lebih
identik kepada proses mengarahkan seseorang agar lebih baik.
Dalam Islam pendidikan tidak hanya dilaksanakan dalam batasan waktu
tertentu saja, melainkan dilakukan sepanjang usia. Dalam pandangan Islam dalam kewajiban untuk menuntut ilmu (pendidikan), Bukan hanya pengetahuan yang terkait urusan akhirat saja yang ditekankan
oleh Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan urusan dunia juga.
Ilmu pengetahuan itu memudahkan orang menuju surga.
Hal itu dikarenakan
seseorang mengetahui akidah yang benar, cara-cara beribadah dengan benar, dan
bentuk-bentuk akhlak yang mulia. Selain itu, orang berilmu mengetahui pula
hal-hal yang dapat merusak akidah tauhid, perkara-perkara yang merusak pahala
ibadah, dan memahami pula sifat dan akhlak-akhlak jelek yang perlu
dihindarinya. Semuanya itu akan membawanya ke surga di akhirat, bahkan kesejahteraan di dunia ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Ismail, Ilyas
dan Prio Hutman, Filsafat Dakwah Islam, (Jakarta : Kencana, 2011).
Nata, Abuddin, Pemikiran
Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000).
Syah, Muhibbin, Psikologi
Belajar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004).
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan dengan
Pendekatan Baru, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2010).
Soemanto, Wasty, Psikologi Pendidikan, (Jakarta
: PT Rineka Cipta, 1998).
[1] Muhibbin Syah, Psikologi
Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2010,
hlm. 88.
[2] Ibid,
hlm. 89.
[3] Wasty Soemanto, Psikologi
Pendidikan, Jakarta, PT Rineka Cipta, 1998, hlm. 104.
[5] Abuddin
Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan
Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000, hlm 34.
[6] Ibid.
Hal 96.
[7] Ilyas
Ismail dan Prio Hutman, Filsafat Dakwah Islam, Jakarta, Kencana, 2011,
hlm 64.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar