Kamis, 05 November 2015

KEWAJIBAN BELAJAR MENGAJAR



HADITS TENTANG
KEWAJIBAN BELAJAR MENGAJAR
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Hadits II (Tarbawi)
Dosen Pengampu : Teguh Mukidin, S.Ud., M.Hum




Disusun oleh Kelompok 1
Kelas B1 PAI
1.    Rois Mansur                        (1410110042)
2.    M. Miftahurrahman           (1410110056)
3.    Sya’idatur Rohmah             (1410110076)
 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Aktivitas belajar sangat terkait dengan proses pencarian ilmu. Islam sangat menekankan terhadap pentingnya ilmu. Al-qur’an dan As-sunnah mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mendapatkan ilmu, serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat yang tinggi.
Kemampuan untuk belajar merupakan sebuah karunia Allah yang mampu membedakan manusia dangan makhluk yang lain. Allah menghadiahkan akal kepada manusia untuk mampu belajar dan menjadi pemimpin di dunia ini. Maka dari itu manusia diwajibkan untuk belajar dan mengajar.
Akan tetapi, terkadang seseorang membutuhkan dalil sebelum percaya dengan perintah kewajiban belajar mengajar. Karena itulah, penulis ingin membahas hadits tentang kewajiban belajar mengajar.

B.  Rumusan Masalah
1.        Apa pengertian belajar mengajar?
2.        Bagaimana teks hadits tentang kewajiban belajar mengajar?
3.        Bagaimana penjelasan tentang hadits kewajiban belajar mengajar?











BAB II
PEMBAHASAN

1.    Pengertian
Arti kata belajar dalam buku Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Perwujudan dari berusaha adalah berupa kegiatan belajar.
Menurut Hintzman, belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri manusia disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku manusia tersebut.[1]
Menurut Wittig, belajar ialah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku manusia sebagai hasil pengalaman.[2]
Belajar adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu dalam perubahan tingkah lakunya baik melalui latihan dan pengalaman yang menyangkut aspek kognitif, afektif dan psikomotor untuk memperoleh tujuan tertentu. Dikatakan belajar apabila membawa suatu perubahan pada individu yang belajar. Perubahan itu tidak hanya mengenai jumlah pengetahuan, melainkan juga dalam bentuk kecakapan, kebiasaan, sikap, pengertian, penghargaan, minat, penyesuaian diri.[3]
Hampir semua ahli telah mencoba merumuskan dan membuat tafsiran tentang “Belajar”. Seringkali pula perumusan dan tafsiran itu berbeda satu sama lain. Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman.
Menurut pengertian diatas, belajar adalah merupakan proses suatu kegiatan dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas daripada itu, yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan, melainkan perubahan kelakuan. Ada juga yang mengatakan bahwa belajar adalah memperoleh pengetahuan, belajar adalah latihan-latihan pembentukan kebiasaan secara otomatis, dan seterusnya.
Secara rasional semua ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui belajar.  Maka, belajar adalah ”key term” (istilah kunci) yang paling vital dalam usaha pendidikan. Sehingga, tanpa belajar sesungguhnya tidak pernah ada pendidikan. Belajar adalah perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya. [4]
Sedangkan pengertian mengajar lebih identik kepada proses mengarahkan seseorang agar lebih baik. Al-Mawardi melarang seseorang mengajar dan mendidik atas dasar motif ekonomi. Akan tetapi menurutnya, seorang guru seharusnya selalu memiliki keikhlasan dan kesadaran akan pentingnya tugas, sehingga dengan kesadaran tersebut, ia akan terdorong untuk mencapai hasil yang maksimal.[5]
Titik tekan pendidikan menurut al-Ghazali terletak pada pendidikan agama dan moral. Untuk itu, syarat menjadi guru menurut al-Ghazali, selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.[6]
Dalam QS At-Taubah Ayat 122, dijelaskan betapa pentingnya menuntut ilmu dan mengamalkannya.
 وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Yang artinya : Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Status kewajiban juga dapat dirujuk melalui argument QS. Ali Imron Ayat 104, adapun dari hadis khotbah nabi pada haji wada’ juga dapat dijadikan argumen yang menunjukkan status fardlu ‘ain. Kata nabi “...hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir”. Juga dalam hadis lain, Rasulullah menyuruh kaum beriman agar menyampaikan ajaran beliau (islam) kepada orang walaupun hanya satu ayat saja yang ia bisa. Sabda nabi : “.... sampaikan dariku walau satu ayat... bhalighu ‘anni walau ayatan”.  Dalam hadits lain lagi, tugas dakwah itu bahkan dikaitkan dengan keimanan seseorang. Setiap mukmin dituntut untuk berdakwah sebisanya, dengan kekuatan, ucapan, atau dengan hati saja.”[7]

2.    Teks Hadits
a.    Hadits Pertama
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ
Artinya : ”Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim perempuan”. (HR. Ibnu Abdil Barr)
Hadits tersebut menjelaskan bahwa semua orang diwajibkan menuntut ilmu, entah itu bagi laki-laki maupun perempuan.

b.   Hadits Kedua

أُطْلُبِ الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ إِلَى الَّلحْدِ
Artinya : ”Carilah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat”. (Al Hadits)
Dalam Islam pendidikan tidak hanya dilaksanakan dalam batasan waktu tertentu saja, melainkan dilakukan sepanjang usia. Belajar dalam arti sebenarnya adalah sesuatu yang berlangsung sepanjang kehidupan seseorang. Dengan terus menerus belajar, seseorang tidak akan ketinggalan zaman dan dapat memperbaharui pengetahuannya, terutama bagi mereka yang sudah berusia lanjut. Dengan pengetahuan yang selalu diperbaharui ini, mereka tidak akan terasing dari generasi muda, mereka tidak akan menjadi pikun secara dini, dan tetap dapat memberikan sumbangannya bagi kehidupan di lingkungannya.
c.    Hadits Ketiga
مَنْ أَرَا دَالدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِا لْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَالْاآخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ

Artinya : ”Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa yang menghendaki kehidupan Akherat, maka wajib baginya memiliki ilmu, dan barang siapa menghendaki keduanya maka wajib baginya memiliki ilmu”. (HR. Turmudzi).
Hadits tersebut memberikan pembelajaran kepada kita umat Islam agar memiliki ilmu pengetahuan baik ilmu pengatahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum. Ilmu pengetahuan merupakan bekal kita untuk hidup di dunia dan akhirat.

d.   Hadits Ke empat
مُعَلِّمُ النَّاسِ الْخَيْرَيَسْتَغْفِرُلَهُ كُلُّ شَىْءٍحَتَّى الْحُوْتِ (ابن عباس)

Orang yang mengajar kebaikan kepada manusia, segala sesuatu(ikan di laut) memohonkan ampunan untuknya. (H.R. Ibnu Abbas)

3.    Analisis
Islam memotivasi pemeluknya untuk selalu meningkatkan kualitas keilmuan dan pengetahuan. Tua atau muda, pria atau wanita, miskin atau kaya mendapatkan porsi sama dalam pandangan Islam dalam kewajiban untuk menuntut ilmu (pendidikan). Bukan hanya pengetahuan yang terkait urusan akhirat saja yang ditekankan oleh Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan urusan dunia juga. Karena tidak mungkin manusia mencapai kebahagiaan hari kelak tanpa melalui jalan kehidupan dunia ini.
Dari pemaparan hadits pertama, yang berisikan maksud dimana kewajiban menuntut ilmu itu ditujukan atas setiap mukmin, baik mukmin laki-laki maupun perempuan. Hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sangat pentingnya kehidupan di bumi harus disertai ilmu, baik ilmu politik, sosial, budaya dan yang paling penting ilmu keagamaan dimana ilmu agama kelak akan menghantarkan umat muslim ke surga dan ilmu agamalah yang menjadi simbolis pembeda antara manusia dan makhluk yang lainnya.
Jika kita melihat keluar, kehidupan di negara kita yang saat ini sangat memprihatinkan, hal tersebut dikarnakan generasi-generasi penerus bangsa yang kurang mampu  mengelola negara dengan baik dikarenakan kurangnya ilmu pendidikan dan sempitnya cakrawala pengetahuan, oleh sebab itu kita harus  membuka mata agar mau mencari ilmu sebanyak-banyaknya baik bagi muslim laki-laki maupun muslim perempuan.
Kewajiban belajar mengajar merupakan suatu tuntutan bagi manusia yang menginginkan suatu kehidupan yang layak sebagai implementasinya dalam memakmurkan dunia. Manusia yang sudah dibaiat oleh Tuhan sebagai khalifah agar senantiasa menjadi pemimpin dan bisa menjadi kemaslahatan bagi dirinya, orang lain dan alam sekitar. Dalam realitasnya, konsep belajar mengajar memang banyak mengambil dari konsep Barat. Dan tidak ada salahnya selama konsep tersebut baik dan bisa mengangkat harkat dan martabat manusia. Namun, alangkah lebih bijak ketika kita juga tahu bagaimana pandangan hadits tentang hal tersebut. Dan banyak teks-teks dalam hadits yang bisa kita jadikan landasan dalam praktek mengajar.
Untuk lebih tegas dalam hadis riwayat Husain ibn Ali di atas, Rasulullah saw. menggunakan kata-kata wajib, harus (farîdhah). Hal itu menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan itu memang benar-benar suatu hal penting dalam kehidupan manusia terutama orang yang beriman. Tanpa ilmu pengetahuan, seorang mukmin tidak dapat melaksanakan aktivitasnya dengan baik menurut ukuran ajaran Islam. Bila ada orang yang mengaku beriman tetapi tidak mau mencari ilmu, maka ia dipandang telah melakukan suatu pelanggaran, yaitu tidak mengindahkan perintah Allah dan Rasul-Nya. Akibatnya, tentu, mendapatkan kemurkaan Allah dan akhirnya akan masuk ke dalam neraka Allah. Karena begitu pentingnya ilmu pengetahuan itu, Rasulullah SAW. mewajibkan umatnya belajar.
Hal tersebut ditegaskan lagi dalam hadis kedua : ”Carilah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat”. Hadis tersebut memberikan pemahaman bahwa proses beklajar mengajar tidak ada batasan usia, mulai dari lahir manusia sudah  mendapatkan transefaran ilmu dari lingkungan sekitar hingga di akhir hayatnya.
Ilmu pengetahuan itu memudahkan orang menuju surga. Hal itu mudah dipahami karena dengan ilmu, seseorang mengetahui akidah yang benar, cara-cara beribadah dengan benar, dan bentuk-bentuk akhlak yang mulia. Selain itu, orang berilmu mengetahui pula hal-hal yang dapat merusak akidah tauhid, perkara-perkara yang merusak pahala ibadah, dan memahami pula sifat dan akhlak-akhlak jelek yang perlu dihindarinya. Semuanya itu akan membawanya ke surga di akhirat, bahkan kesejahteraan di dunia ini.
Dalam sebuah hadis disebutkan terdapat lima keutamaan orang menuntut ilmu, yaitu: (1) mendapat kemudahan untuk menuju surga, (2) disenangi oleh para malaikat, (3) dimohonkan ampun oleh makhluk Allah yang lain, (4) lebih utama daripada ahli ibadah, dan (5) menjadi pewaris Nabi.
 Yang dimaksud dengan dimudahkan Allah baginya jalan menuju surga adalah ilmunya itu akan memberikan kemudahan kepadanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menyebabkannya masuk surga. Karena ilmunya, seseorang itu mengetahui kewajiban yang harus dikerjakannya dan larangan-larangan yang harus dijauhinya. Ia memahami hal-hal yang dapat merusak akidah dan ibadahnya. Ilmu yang dimilikinya membuat ia dapat membedakan yang halal dari yang haram. Dengan demikian,  orang yang memiliki ilmu pengetahuan itu tidak merasa kesulitan untuk mengerjakan hal-hal yang dapat membawanya ke dalam surga.
Malaikat menghamparkan sayapnya karena senang kepada orang yang mencari ilmu. Malaikat telah mengetahui bahwa Allah sangat mengutamakan ilmu. Hal itu terbukti ketika mereka disuruh hormat kepada Adam setelah Adam menunjukkan kelebihan ilmunya kepada malaikat. Oleh sebab itu,  para malaikat merasa senang kepada orang-orang yang berilmu karena mereka dimuliakan oleh Allah.
Orang yang menuntut ilmu dimintakan ampun oleh makhluk-makhluk Allah yang lain. Ini merupakan ungkapan yang menunjukkan kesenangan Rasulullah SAW kepada para pencari ilmu. Ilmu itu sangat bermanfaat bagi alam semesta, baik manusia maupun bukan manusia. Dengan ilmu pengetahuan yang disertai iman, alam ini akan selalu terjaga dengan indah. Penjagaan dan pengelolaan alam ini dapat dilakukan dengan ilmu pengetahuan. Jadi, orang yang memiliki ilmu dan menggunakannya untuk kebaikan alam semesta merupakan orang mulia yang pantas didoakan oleh penghuni alam ini.
Orang berilmu pengetahuan lebih utama daripada ahli ibadah. Keutamaannya diumpamakan oleh Rasulullah SAW bagaikan kelebihan bulan pada malam purnama dari bintang. Keutamaan bulan malam purnama yaitu bercahaya yang membuat dirinya terang dan dapat pula menerangi yang lain. Sedangkan bintang kurang cahayanya dan itu hanya untuk dirinya sendiri. Sifat seperti itu terdapat pula pada orang yang berilmu pengetahuan dan ahli ibadah. Orang yang berilmu pengetahuan dapat menerangi dirinya sendiri dengan petunjuk dan dapat pula menerangi orang lain dengan pengajarannya. Dengan kata lain, orang 'alim itu memberikan manfaat untuk dirinya dan dapat pula bermanfaat bagi orang lain.
Orang yang berilmu dikatakan sebagai pewaris Nabi. Ini merupakan penghormatan yang sangat tinggi. Warisan Nabi itu bukan harta dan fasilitas duniawi, melainkan ilmu. Mencari ilmu berarti berusaha untuk mendapatkan warisan beliau. Berbeda dari warisan harta, untuk mendapatkan warisan Nabi tidak dibatasi pada orang-orang tertentu. Siapa saja yang berminat dapat mewarisinya. Bahkan, Rasulullah SAW. menganjurkan agar umatnya mewarisi ilmu itu sebanyak-banyaknya.
Mengajar adalah proses memberikan ilmu pengetahuan kepada orang yang belum tahu. Hasilnya, orang yang belajar itu memiliki ilmu pengetahuan dan dapat dimanfaatkannya dalam menjalani kehidupannya, baik untuk urusan hidup duniawi maupun untuk urusan ukhrawi.

























BAB III
PENUTUP

1.    Kesimpulan
“Belajar mengajar wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan tanpa adanya batasan waktu”.
Orang yang belajar akan mendapatkan ilmu yang dapat digunakan untuk memecahkan segala masalah yang dihadapinya di kehidupan dunia. Dengan  ilmu yang dimilikinya, mampu mengangkat derajatnya di mata Allah.
Belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri manusia disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku manusia tersebut. Sedangkan pengertian mengajar lebih identik kepada proses mengarahkan seseorang agar lebih baik.
Dalam Islam pendidikan tidak hanya dilaksanakan dalam batasan waktu tertentu saja, melainkan dilakukan sepanjang usia. Dalam pandangan Islam dalam kewajiban untuk menuntut ilmu (pendidikan), Bukan hanya pengetahuan yang terkait urusan akhirat saja yang ditekankan oleh Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan urusan dunia juga.
Ilmu pengetahuan itu memudahkan orang menuju surga. Hal itu dikarenakan seseorang mengetahui akidah yang benar, cara-cara beribadah dengan benar, dan bentuk-bentuk akhlak yang mulia. Selain itu, orang berilmu mengetahui pula hal-hal yang dapat merusak akidah tauhid, perkara-perkara yang merusak pahala ibadah, dan memahami pula sifat dan akhlak-akhlak jelek yang perlu dihindarinya. Semuanya itu akan membawanya ke surga di akhirat, bahkan kesejahteraan di dunia ini.






DAFTAR PUSTAKA

Ismail, Ilyas dan Prio Hutman, Filsafat Dakwah Islam, (Jakarta : Kencana, 2011).
Nata, Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000).
Syah, Muhibbin, Psikologi Belajar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004).
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2010).
Soemanto, Wasty, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1998).



[1] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2010, hlm. 88.
[2] Ibid, hlm. 89.
[3] Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, Jakarta, PT Rineka Cipta, 1998, hlm. 104.
[4] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 59.
[5] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000, hlm 34.
[6] Ibid. Hal 96.
[7] Ilyas Ismail dan Prio Hutman, Filsafat Dakwah Islam, Jakarta, Kencana, 2011, hlm 64.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar