Kamis, 05 November 2015

FITRAH MANUSIA



FITRAH MANUSIA
KONSEP DASAR PSIKOLOGI ISLAM
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Psikologi Islam
Dosen Pengampu Fifi Noviaturrahmah, M.Pd.I


Disusun Oleh Kelompok 2
Kelas B1 PAI
1.    Anis Maqfiroh                     (1410110040)
2.    M. Miftahurrahman           (1410110056)
3.    Nurul Izzati                          (1410110064)
4.    Sya’idatur Rohmah             (1410110076)
5.    Nurul Hidayah                     (1410110077)
 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang
Sebagai suatu disiplin ilmu, psikologi amat penting bagi kehidupan manusia, mengingat obyek kajian psikologi adalah perilaku manusia. Dapat dikatakan bahwa memperlajari perilaku manusia berarti melakukan pengkajian yang amat mendasar dalam hidup manusia.
Obyek formal psikologi islami adalah manusia dengan segala rahasia karakter, sifat dan hakekatnya, sampai pada proses pembentukan perilakunya.
2.    Rumusan Masalah




















BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pengertian Fitrah
Secara bahasa kata fitrah mengandung beberapa makna yaitu suatu kecenderungan alamiah bawaan sejak lahir, penciptaan yang menyebabkan sesuatu ada untuk pertama kalinya, serta struktur atau ciri alamiah manusia, juga secara keagamaan maknanya adalah agama tauhid atau mengesakan tuhan. Bahwa manusia sejak lahirnya telah memiliki agama bawaan secara alamiah, yaitu agama tauhid.
Dalam Islam, manusia mempunyai kemampuan dasar yang di sebut dengan fitrah. Secara etimologi fitrah berarti sifat asal, kesucian, bakat, dan pembawaan. Secara terminologi, Muhammad al-Jurjani menyebutkan, bahwa fitrah adalah Tabiat yang siap menerima agama Islam. Pendidikan adalah upaya seseorang untuk mengembangkan potensi tauhid agar dapat mewarnai kualitas kehidupan pribadi seseorang.[1]
Berdasarkan itu, dapatlah dikatakan bahwa istilah fitrah dapat dipandang dari dua sisi. Dari sisi bahasa, maka makna fitrah adalah suatu kecenderungan bawaan alamiah manusia. Dan dari sisi agama kata fitrah bermakna keyakinan agama, yaitu bahwa manusia sejak lahirnya telah memiliki fitrah beragama tauhid, yaitu mengesakan tuhan.[2]
ما من مو لو د الا يو لد علي الفطر ة فا بواه يهو دانه او ينصرانه  او يمجسانه او يشر كا نه (رواه البخارى و مسلم عن ابي هر يرة)
“Setiap anak tidak dilahirkan kecuali dalam kondisi fitrah (suci). Maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau musyrik”. (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Berdasarkan uraian diatas dapat dinyatakan hal-hal sbg berikut :
1.    Fitrah manusia menurut pandangan alqur’an merupakan pola dasar penciptaan manusia, sehingga menjadi pembawaan dan potensi hakiki diri manusia. berdasarkan itu, maka tidak tepat menyamakan teori fitrah dengan teori tabularasa yang berpandangan bahwa manusia dilahirkan seperti kertas putih bersih dan lingkungan (pendidikan) yang memberikan gambar apa saja pada kertas putih tersebut.
2.    Bentuk fitrah manusia yang digambarkan alqur’an adalah agama tauhid yaitu agama islam. oleh karena itu, manusia sejak lahirnya telah membawa potensi beragama islam.
3.    Konsep perkembangan manusia menurut alqur’an adalah manusia sejak lahirnya telah memiliki potensi. untuk mengaktualkan potensi itu, maka diperlukan lingkungan yang kondusif dalam rangka memberikan kesempatan kepada potensi untuk menjadi aktual. jadi, perkembangan manusia sangat dipengaruhi oleh pembawaan dan lingkungan.[3]
B.     Fitrah akan keseimbangan
Tawazun berarti seimbang atau memberikan sesuatu akan haknya. Tanpa ada penambahan dan pengurangan. Allah telah menjadikan alam beserta isinya berada dalam sebuah keseimbangan. Hal ini menjadi isyarat bagi manusia untuk hidup dalam keseimbangan pula. Keseimbangan hidup akan dicapai jika manusia hidup sejajar dengan fitrahnya. Hidup seimbang harus diciptakan. Kemampuan itu akan tumbuh dari buah pengetahuan terhadap hakikat sesuatu dan pengetahuan terhadap batasan-batasan, tujuan-tujuan serta manfaat daari suatu itu. Islam mengajarkan hidup yang seimbang, karena islam sendiri merupakan agama ciptaan Allah yang sesuai dengan fitrahnya. Mustahil Allah menciptakan agama untuk manusia yang tidak sesuai dengan fitrahnya.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas)fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurutfitrahnya itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah...”(Q.S. 30:30)
Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa manusia itu diciptakan sesuai dengan fitrah Allah yaitu memiliki naluri beragama (Agama Tauhid : al islam) dan Allah menghendaki manusia untuk tetap dalam fitrah itu. Seandainya pun ada manusia yang tidak bertauhid, biasanya diakibatkan pengaruh lingkungan dimana ia tumbuh dan berkembang. Seperi hadis yang telah tertera pada sub bab sebelumnya.[4]
C.  Wawasan Alqur’an Tentang Manusia (hal 64)
Ada 3 kelompok istilah yang digunakan alqur’an dalam menjelaskan manusia secara totalitas, baik fisik maupun psikis.
a.    Al-basyar
Kata al-basyar digunakan untuk menggambarkan manusia dari sisi fisik biologisnya, seperti kulit manusia, kebutuhan biologisnya berupa makan, minum, berhubungan seks, dll. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia yang dijelaskan dengan istilah al basyar  menekankan kepada gejala umum yang melekat pada fisik manusia, yang secara umum relatif sama antara semua manusia. (hlm 69)

b.    Al ins / Al insan
Al insan dilihat dari asal katanya anasa yang berarti melihat, mengetahui, dan meminta izin, maka ia memiliki sifat-sifat potensial dan aktual untuk mampu berpikir dan bernalar. Dengan berpikir, manusia mengetahui yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, selanjutnya menentukan pilihan untuk senantiasa melakukan yang benar dan baik dan menjauhi yang salah dan buruk. Pada gilirannya, dia akan menampilkan sikap meminta izin kepada orang lain untuk mempergunakan sesuatu yang bukan hak dan miliknya. Sedangkan al insan dari sudut asal katanya nasiya yang berarti lupa, menunjukkan bahwa manusia punya potensi untuk lupa, bahkan hilang ingatan atau kesadarannya. Demikian pula al insan dari sudut asal katanya anisa yang berarti jinak, maka manusia adalah makhluk yang jinak, ramah, serta dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. (hlm 70)
Kata al-ins dipakai alqur’an dalam kaitannya dengan berbagai potensi jiwa manusia, antara lain sebagai hamba Allah yang selalu berbuat baik sehingga menjadi penghuni surga, tetapi juga potensial menjadi pembangkang Allah, sehingga membawanya menjadi penghuni neraka. (hlm 74)

c.    Bani adam
Istilah bani adam membicarakan tentang keharusan manusia untuk memakai pakaian yang berguna untuk memperindah tubuh dan untuk menutup aurat. Manusia diberi kelebihan dan keistimewaan untuk berhias dan berpakaian. Fungsi pakaian yang terpenting adalah menutup aurat. Menutup aurat merupakan nilai peradaban dan kemanusiaan yang sangat tinggi. Istilah bani adam juga dihubungkan dengan pembicaraan tentang keimanan, dan penjelasan tentang musuh utama, yaitu syaithan. (hlm 89)

D.  Potensi Manusia
1.    Nafs
Nafs yang menjadi pokok bahasan adalah dalam pengertian aspek dan dimensi jiwa manusia, yang meliputi nafsu, jiwa, diri dan daya-daya pendorong untuk berbuat baik dan buruk. Secara hirarkis, nafs dalam sistem organisasi jiwa menempati elemen dasar yang dapat mewadahi dan menampung dimensi-dimensi jiwa lainnya. Sedangkan secara proporsional, maka nafs merupakan dimensi jiwa yang menempati posisi di antara ruh dan jism. Ruh, karena berasal dari Tuhan, maka ia mengajak nafs menuju Tuhan. Sedangkan jism berasal dari benda/materi, maka ia cenderung mengarahkan nafs untuk menikmati kenikmatan yang bersifat material. (hlm 94)
Tingkatan nafs diantaranya :
a.    Nafs ammarah
Adalah nafsu biologis yang mendorong manusia untuk melakukan pemuasan kebutuhan biologisnya. Pada aspek ini, manusia sama persis seperti binatang.(hlm 107)

b.    Nafs lawwamah
Berarti nafs yang mencela dirinya. Maksudnya karena melakukan suatu perbuatan yang secara rasional tidak baik. Nafs telah menganjurkan untuk berbuat baik dan dia akan mencela dirinya apabila melakukan hal-hal yang tercela. Dalam istilah sufi, nafs lawwamah adalah nafs yang telah menyadari dan mengetahui berbagai kekurangannya.
Pada nafs lawwamah ini ketara betul sifat rasional telah berfungsi. Is telah mau menyadari kesalahannya dan mencela kesalahan itu, karena memang sifat dasarnya. Pada dasarnya adalah cenderung kepada kebaikan. Namun daya tarik keburukan lebih kuat, sehingga nafs pada taraf ini masih mudah terkecoh dengan daya tarik keburukan tersebut. Walaupun pada akhirnya nanti, ia sendiri akan menyesali dan mencela dirinya. (hlm 108)

c.    Nafs mutmainnah
Adalah jiwa yang senantiasa terhindar dari keraguan dan perbuatan jahat. Jiwa ini tenag karena beristirahat dalam keyakinan kepada Allah. Nafs pada kategori ini sudah terhindar dari perbuatan buruk. Ia hanya berisikan perbuatan baik. Inilah jiwa yang suci dan pemiliknya disebut dengan orang yang menang dan beruntung. (hlm 104-106)
2.      Aql
Aql yaitu kemampuan mengendalikan sesuatu, baik berupa perkataan, pikiran, maupun perbuatan. Seseorang yang menggunakan akalnya disebut dengan aqil yaitu orang yang dapat mengikat dan menawan hawa nafsunya, sehingga nafsunya tidak dapat menguasai dirinya. (hlm 115)
Akal dalam hubungannya dengan dimensi jiwa memiliki beraneka ragam makna dan fungsi. Pertama, akal adalah instrumen jiwa yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Kedua, dengan akalnya manusia dapat menemukan, mengembangkan, dan mengkonstruksi, bahkan menciptakan ilmu pengetahuan. Dan ketiga, bahwa dengan akalnya manusia mampu mengendalikan dorongan hawa nafsunya. (hlm 116)
Dalam hubungannya dengan dimensi jiwa, maka aql merupakan dimensi rasional yang dapat memikirkan hal-hal yang kongkret seperti sejarah umat manusia, hukum-hukum alam. Juga digunakan untuk memukirkan yang abstrak bahkan yang transedental, seperti kehidupan di akhirat, proses menghidupkan kembali orang yang sudah mati, kebenaran ibadah, kebenaran wahyu, dll.(hlm 122)
3.      Qalb
Qalb menjadi penentu dalam kapasitas kebaikan dan keburukan seseorang. Dalam sebuah hadits disebutkan “sesungguhnya didalam tubuh terdapat segumpal daging, apabila dia baik, maka akan baiklah, seluruh tubuh, tetapi apabila ia rusak, maka akan rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa ia adalah Al-Qalb.” HR. Bukhori dari Nukman Ibn Basyir






























BAB III
PENUTUP






















DAFTAR PUSTAKA


[1] Arif Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Pres , Jakarta, 2002, hlm. 3-8.
[2] Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm 148.
[3] Baharuddin, Aktualisasi Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, Hlm 28.
[4]Novi Hardian & Tim ILNA, Super Mentoring Senior, Syaamil Cipta Media, Bandung, 2005, Hlm 10-11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar