HUKUM
SYAR’I
DAN
MACAM-MACAMNYA
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul
Fiqih I
Dosen Pengampu Zaenal
Arifin, M.S.I
Kelompok 10 :
1. M. Iftah Hafara Maulana (1410110046)
2. Sya’idatur Rohmah (1410110076)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2015
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Segala amal perbuatan
manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum
syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Quran dan Sunnah, maupun
yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang
diakui syari'at. Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa mengetahui
hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua disiplin ilmu ini memang
mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf.
Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari
segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi
hasil penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan
perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah
dan larangan), takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab
akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang telah di
berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang
mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal,
syarat, sebab, halangan (mani') dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada
makalah ini yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.
Maka, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara'
yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Semoga makalah ini dapat
membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul fiqh.
2.
Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dari hukum syara’ ?
b. Apa macam-macam hukum syara’ ?
c. Apa perbedaan hukum taklifi dan hukum
wadh’i ?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Hukum Syar’i
Secara
etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau “memutuskan”.
Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti khitab (kalam)
Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa iqtidla (perintah,
larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), takhyir
(kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara melakukan dan tidak
melakukan), atau wadl’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai
sebab, syarat, atau mani’ [penghalang]).[1]
Sebelum
membahas tentang hukum syara’, terlebih dahulu yang perlu kita ketahui bahwa
hukum dibagi menjadi 3 bagian, pertama, hukum syara’ yaitu : wajib,
sunnah, mubah, makruh, haram. Kedua, hukum adat, dibagi menjadi 3 bagian
: wajib, muhal, jaiz. Ketiga, hukum akal, yaitu ilmu yang dibahas dalam
ilmu tauhid, ketika ada perkataan sifat wajib yang dimaksud adalah wajib
menurut akal.[2]
Sekarang
yang kita bahas adalah hukum syara’. Langsung saja pengertian syara’, kata syara’
secara etimologi adalah jalan yang dilalui manusia untuk menuju Allah.
Sedangkan Hukum Syara’ menurut istilah para ahli Ushul ialah akibat dari khitab
Allah SWT pada perbuatan mukallaf seperti wajib, haram, dan mubah.[3]
2.
Macam – Macam Hukum Syara’
Dari batasan hukum syara’ diatas
dapat dipahami bahwa hukum syara’ terbagi menjadi 2 macam :
a.
Hukum Taklifi
Hukum taklifi ialah hukum yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf, baik bersifat tuntutan atau bersifat memilih (mengerjakan
atau meninggalkan). Hukum ini dibagi menjadi 5 :
1)
Wajib
Para ahli ushul memberikan definisi wajib ialah :
اَلْوَاجِبُ شَرْعًا هُوَ مَا طَلَبَ الشَّارِعُ
فِعْلَهُ مِنَ الْمُكَلَّفُ طَلَبًا حَتْمًا
Artinya : “wajib menurut syara’ ialah apa yang dituntut oleh syara’
kepada mukallaf untuk memperbuatnya dalam tuntutan keras.”
Menurut definisi lain, wajib menurut syara’ adalah
sesuatu yang berpahala jika dikerjakan dan disiksa jika ditinggalkan.
Perngertian menyiksa dianggap cukup bila dilaksanakan pada satu orang dari
beberapa pelaku maksiat, serta mengampuni yang lain. Wajib ini dapat dikenal
melalui qorinah (tanda) lain. Wajib yang ditunjuk melalui lafal seperti
dalam bentuk lafal amr (perintah). Dalam firman Allah :
أَقِمِ الصَّلاةَ
لِذِكْرِي
Artinya : “... dirikanlah untuk mengingat Aku.” (QS.
Thaha : 14).[4]
Wajib (fardhu) dibagi menjadi 2 :
a) Fardhu
‘Ain
Yaitu perkara yang wajib dilakukan bagi setiap orang mukallaf (bersifat
individual). Seperti sholat 5 waktu.
b) Fardhu
Kifayah
Yaitu perkara yang wajib dilakukan bagi setiap orang mukallaf dan ketika
sebagian sudah ada yang mengerjakan maka sudah cukup, artinya sebagian orang
yang lain sudah gugur kewajibannya. Contohnya menyalati mayyit.[5]
2)
Sunnah
Para ahli ushul fiqih mengatakan yang dimaksud dengan mandub/sunnah ialah
مَاطَلَبَ الشَّارِعُ فِعْلَهُ مِنَ الْمُكَلَّفِ
غَيْرَ حَتْمٍ
Artinya : “sesuatu yang dituntut oleh syara’ memperbuatnya dari
mukallaf namun tuntutannya tidak begitu keras.”
Atau dengan kata lain sesuatu yang mendapat pahala jika
dikerjakan dan tidak mendapat siksa bila ditinggalkan.
Sedangkan menurut Imam Al-Qadhi Husain dan ulama
lain, sunnah adalah perbuatan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW secara terus
menerus.[6]
Perbuatan mandub dapat dikenal melalui lafal yang
tercantum dalam nash, seperti dicantumkan kata “disunnahkan” atau “dianjurkan”
atau dibawakan dalam bentuk amar namun ditemui tanda yang menunjukkan bahwa
tuntutan itu tidak keras dari nash itu sendiri. Umpamanya dalam firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى
أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-baqarah : 282).
Para ulama di kalangan Madzhab Syafi’i membagi
mandub menjadi 2 macam :
a) Sunnah Muakad, ialah perbuatan yang
dituntut memperbuatnya namun tidak dikenakan siksa bagi yang meninggalkannya,
tetapi dicela. Contohnya, seperti adzan, sholat berjamaah, sholat hari raya,
berkurban, dan akikah, karena perbuatan-perbuatan yang seperti itu selalu
diperbuat Rasulullah hanya sekali atau dua kali beliau tinggalkan yang
menunjukkan perbuatan itu bukan wajib namun digemari oleh beliau.
b) Sunnah ghairu muakkad, ialah segala
perbuatan yang dituntut memperbuatnya namun tidak dicela meninggalkannya tetapi
Rasulullah sering meninggalkannya. Kalau seorang telah mengerjakan perbuatan
yang mandub lalu ia berhenti sebelum perbuatan itu selesai, menurut para ulama’
dalam Madzhab Hanafi ia wajib mengqadha’ perbuatan itu berdasarkan ayat yang
berbunyi :
وَلا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
3)
Haram
Para ahli ushul fiqih mengatakan bahwa haram adalah :
مَاطَلَبَ الشَّارِعُ الْكُفَّ فِعْلَهُ حَتْمًا
Artinya : “apa yang dituntut oleh syara’ untuk tidak melakukannya
dengan tuntutan keras.”
Atau dengan kata lain perbuatan yang dikerjakan
berdosa, jika ditinggalkan mendapat pahala. Tuntutan seperti ini dapat
diketahui melalui lafal nash seperti dalam firman Allah :
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً
Artinya
: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji...” (QS. Al-Isra’ : 32).
4)
Makruh
Makruh menurut para ahli ushul fiqh ialah :
مَاطَلَبَ الشَّارِعُ مِنَ الْمُكَلَّفِ الْكُفَّ
فِعْلَهُ طَلَبًا غَيْرَ حَتْمٍ
Artinya : “apa yang dituntut syara’ untuk meninggalkannya namun tidak
begitu keras.”
Atau dengan kata lain kalau dilanggar tidak berdosa,
jika ditinggalkan disertai dengan niat untuk menjalankan perintah Allah akan
mendapat pahala. Makruh ini dapat diketahui melalui firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ
تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu...” (QS. Al-Maidah : 101)
5)
Mubah
Yang dimaksud dengan mubah menurut para ahli ushul fiqh ialah :
مَا خَيَّرَ الشَّارِعُ الْمُكَلَّفَ بَيْنَ فِعْلِهِ
وَتَرْكِهِ
Artinya : “apa yang diberikan kebebasan kepada para mukallaf untuk
memilih antara memperbuat atau meninggalkannya.”
Dengan kata lain kalau dikerjakan tidak berpahala
dan tidak pula berdosa, kalau ditinggalkan tidak berpahala dan tidak berdosa. Contoh
mubah dalam firman Allah :
وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ
النِّسَاءِ
Artinya : “Dan
tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran...” (QS. Al-Baqarah : 235)
b.
Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i ialah khitab Allah SWT yang menjadikan
sesuatu sebagai sebab, syarat, mani’ (pencegah), sah dan batal, dan azimah dan rukhshah.[8]
1)
Dalam bentuk Sebab
Dalam bentuk yang nyata dan dapat diukur yang
dijelaskan oleh nash bahwa keberadannya menjadi petunjuk bagi hukum syara’.
Artinya keberadaan sebab merupakan pertanda keberadaan suatu hukum dan
hilangnya sebab menyebabkan hilangnya hukum.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku...” (QS. Al-Maidah : 6)
Ayat diatas dapat dipahami bahwa mendirikan sholat
menjadi sebab untuk mewajibkan wudhu atau menjadikan sesuatu adalah sebab
terhadap sesuatu.
2)
Dalam bentuk Syarat
Ialah sesuatu yang menyebabkan adanya hukum dengan
adanya syarat dan bila tidak ada syarat maka hukum pun tidak ada. Contoh :
لَانِكَاحَ
اِلَّا بِوَلِىٍّ وَشَاهِدَىْ عَدْلٍ
Artinya : “tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi
yang adil.” (HR. Ahmad)
Dua orang saksi menjadi syarat untuk sahnya
pernikahan. Itulah yang dimaksud dengan menentukan sesuatu menjadi syarat
sahnya sesuatu.
3)
Dalam bentuk Mani’
Yang dimaksud dengan mani’ ialah sifat yang nyata
yang keberadannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab.
Misalnya, hubungan suami istri dan hubungan
kekerabatan menyebabkan terciptanya hubungan kewarisan (waris mewaris). Apabila
ayah wafat, maka istri dan anak mendapatkan pembagian warisan dari harta suami
atau ayah yang wafat, sesuai dengan pembagian masing-masing. Akan tetapi hak
mewarisi ini bisa terhalang apabila anak atau istri membunuh suami atau ayah
yang mewarisi harta tersebut. (HR. Bukhari Muslim)
Perbuatan pembunuhan itu merupakan mani’
(penghalang) untuk mendapatkan pembagian warisan dari orang yang dibunuh. Disisi
lain adanya pembunuhan menyebabkan dilaksanakan hukuman qishash bagi pelaku
pembunuhan. Akan tetapi, dalam hubungan ayah dan anak atau istri dengan suami
dalam kasus pembunuhan diatas, maka hubungan keturunan (perkawinan) menjadi
penghalang dilaksanakannya hukum qishash. [9]
4)
Dalam bentuk Sah dan Batal
Sah dapat diartikan lepas tanggungjawab atau gugur
kewajiban di dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran diakhirat. Sholat
dikatakan sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintah
syara’ dan akan mendatangkan pahala di akhirat.
Sebaliknya lafal batal dapat diartikan tidak
melepaskan tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban di dunia dan di akhirat
tidak memperoleh pahala.[10]
5)
Dalam bentuk Azimah dan Rukhshah
Azimah adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah
kepada seluruh hamba-Nya sejak semula. Artinya belum ada hukum sebelum hukum
itu disyariatkan Allah, sehingga seluruh mukallaf wajib mengikutinya sejak
hukum tersebut disyariatkan. Misalnya jumlah rekaat sholat dzuhur adalah 4
rekaat. Jumlah rekaat ini ditetapkan Allah sejak semula, dimana sebelumnya
tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah rekaat sholat dzuhur. Apabila ada
dalil lain yang menunjukkan bahwa orang-orang tertentu boleh mengerjakan sholat
dzuhur 2 rekaat, seperti orang musafir, maka hukum itu disebut rukhshoh
(keringanan) atau hukum yang ditetapkan berbeda dengan dalil yang ada karena
ada udzur.[11]
3.
Perbedaan Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh’i
a. Dalam hukum taklifi terkandung tuntutan
untuk melaksanakan, meninggalkan, atau memilih berbuat atau tidak berbuat.
Sedangkan, hukum wadh’i hal ini tidak ada, melainkan mengandung keterkaitan
antara dua persoalan, sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan
sebab, penghalang, atau syarat.
b. Hukum taklifi merupakan tuntutan langsung
pada mukallaf untuk dilaksanakan, ditinggalkan, atau melakukan pilihan untuk
berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan hukum wadh’i tidak dimaksudkan agar
langsung dilakukan mukallaf.
c. Hukum taklifi harus sesuai dengan
kemampuan mukallaf untuk melaksanakan atau meninggalkannya, karena dalam hukum
taklifi tidak boleh ada masyaqqoh dan harj yang tidak mungkin
dipikul oleh mukallaf. Sedangkan hukum wadh’i hal seperti ini tidak
dipersoalkan, karena masyaqqoh dan harj dalam hukum wadh’i ada
kalanya dapat dipikul mukallaf (seperti menghadirkan saksi sebagai syarat dalam
pernikahan), dan ada kalanya diluar kemampuan mukallaf (seperti tergelincirnya
matahari bagi wajibnya sholat dzuhur).
d. Hukum taklifi ditujukan kepada para mukallaf,
sedangkan hukum wadh’i ditujukan kepada manusia mana saja, baik telah mukallaf,
maupun belum, misalnya anak kecil dan orang gila.
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
DAFTAR
PUSTAKA
Satria Efendi,
M.zein, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2009.
Mujahidin
Rahman Al-hafidz, Kitab Tijanud Darori, Jepara : Pondok Pesantren Nurul
Ikhlas, 2015.
Syafi’i Karim, Fiqih
Ushul Fiqih, Bandung : Pustaka Setia, 2001.
Karangan Imam
Sayyid Abdur Rahman As-Segaf, Durusul Fiqhiyah, At-Taslimiyah.
Darul Azka,
Nailul Huda, Munawwir Ridwan, Ushul Fiqih Terjemah Syarah Al-Waraqat, Lirboyo
: Santri Salaf Press, 2013.
Chaerul Umam, Ushul
Fiqih 1, Bandung : Pustaka Setia, 2000.
Muhammad Hudari
Bek. Ushul Fiqh. Kairo : Maktabah Tijariyatil Kubra. 1965.
[1] Satria
Efendi, M.zein, Ushul Fiqh, Kencana : Jakarta, 2009, hlm. 36.
[2]
Mujahidin Rahman Al-hafidz, Kitab Tijanud Darori, Pondok Pesantren Nurul
Ikhlas : Jepara, 2015, hlm. 2.
[3] Syafi’i
Karim, Fiqih Ushul Fiqih, Pustaka Setia : Bandung, 2001, hlm. 89.
[4] Ibid.
Hlm. 92-93
[5] Karangan
Imam Sayyid Abdur Rahman As-Segaf, Durusul Fiqhiyah, At-Taslimiyah, hlm.
3-4.
[6] Darul
Azka, Nailul Huda, Munawwir Ridwan, Ushul Fiqih Terjemah Syarah Al-Waraqat, Santri
Salaf Press : Lirboyo, 2013, hlm. 19.
[7] Syafi’i
Karim, Fiqih Ushul Fiqih, Pustaka Setia : Bandung, 2001, hlm. 94-96.
[8] Chaerul
Umam, Ushul Fiqih 1, Pustaka Setia : Bandung, 2000, hlm. 242.
[9] Ibid.
Hlm 246.
[10]
Muhammad Hudari Bek, Ushul Fiqh, Maktabah Tijariyatil Kubra, Kairo,
1965, hlm. 80.
[11] Chaerul
Umam, Ushul Fiqih 1, Pustaka Setia : Bandung, 2000, hlm. 250.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar